Selasa, 14 November 2017

Politik, HAM, dan Demokrasi dalam Islam

Makalah Al Islam dan Kemuhammadiyahan : Politik, HAM, dan Demokrasi dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN


Politik, HAM, dan Demokrasi dalam Islam berisi tentang penjelasan konsep-konsep hukum Islam, HAM menurut Islam dan demokrasi dalam Islam meliputi prinsip bermusyawarah dan pengambilan keputusan sesuai sesuai dengan sya’riat Islam.

Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia Islam pun mengtur mengenai hak asasi manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin yang harus dibela.

Dalam Islam, konsep mengenai HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM.

Dalam penjelasan mengenai demokrasi
dalam kerangka konseptual Islam, banyak pengertian diberikan pada beberapa aspek khusus dari ranah sosial dan politik. Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretative yang mandiri (ijtihad).


BAB
II
PEMBAHASAN


2.1. POLITIK

A.     Pengertian Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Komponen-komponen yang diperlukan dalam politik yaitu :
a.       Masyarakat
b.      Kekuasaan
c.       Negara
Sedangkan Fungsi dari politik adalah sebagai berikut :
a.       Perumusan kepentingan
b.      Pemaduan kepentingan
c.       Pembuatan kebijakan umum
d.      Penerapan kebijakan
e.       Pengawasan pelaksanaan kebijakan



B.      Pengertian Politik Islam

Politik dan agama adalah sesuatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama. Pemerintahan yang berlaku pada masa Rasulullah dan khalifah bukanlah diturunkan Allah dari langit. Wahyu Allah hanya mengarahkan Rasul dan kaum muslimin untuk menjamin kemaslahatan umum, tanpa merenggut kebebasan mereka untuk memikirkan usaha-usaha menegakkan kebenaran, kebajikan, dan keadilan. Alquran sendiri tidak mengatur urusan politik secara khusus, tetapi hanya memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum lemah, dan melarang perbuatan yang tidak senonoh, tercela, serta durhaka. Alquran hanya meletakkan garis besar pada kaum muslimin, kemudian memberikan kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak sampai melanggar batas-batas yang telah ditetapkan. Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah Allah mengatur semesta alam, yang diperuntukkan kepada manusia. Islam itu secara substantif bersifat politis. Konteks pemberian amanah kepada manusia yang dimaksud di atas adalah Istikhlaf sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk mewakili danm melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya."
Untuk lebih memahaminya, perlu kita ingat kembali bahwa Allah memberikan manusia dua amanah :
1.  Ubudiyah, yaitu untuk beribadah, penghambaan kepada Allah.
2. Amanah Kekhalifahan, hal ini lebih dekat kepada otoritas untuk mengendalikan  kehidupan (di atas bumi).

Allah SWT berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, ..." (QS. An Nur: 55)
Dengan demikian, Islam secara substantif adalah siyasah, yaitu menghendaki agar ummat menjalankan kepemimpinan politik. Salah satu tujuan Islam adalah bagaimana agar bisa menerapkan kehidupan secara Islami dan agar sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Untuk itu perlu dilakukan suatu tindakan untuk merubah situasi saat yang  masih jauh dari harapan ini agar mencapai tujuan di atas. Ada dua pendekatan dalam agenda perubahan tersebut (secara berurut):
1.      Pendekatan secara kultural. Tersirat dalam firman Allah SWT pada Surat Al Jumuah ayat 2, "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
2.      Pendekatan secara struktural. Pendekatan inilah yang lebih bersifat siyasi.
Jadi, ketika telah terbentuk masyarakat yang Islami secara kultural, maka dibutuhkanlah pemerintahan yang Islami. Contohnya dalam peristiwa Piagam Madinah. Ketika itu masyarakat Madinah sudah terkondisikan sebagai masyarakat yang Islami secara kultural. Kedua pendekatan di atas tidak dapat dipilah-pilahkan satu sama lain. Kedua hal di atas hanyalah terkait pada tahapan perubahan saja. Jadi, sebenarnya tidak ada istilah Islam kultural, dan Islam Politik. Islam itu adalah menyeluruh (syumuliyatul Islam)
Kemudian Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah sasayasusu- siyasah . Yang berarti (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya) dan secara bahasa adalah cara pemerintahan Islam mengurus urusan rakyatnya, serta urusan negara, umat dan rakyatnya terkait dengan negara, umat dan bangsa lain. Urusan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan: politik, sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, dll, yang mana pada masa Rasulullah SAW makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaannya. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : yang artinya ‘Bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat/rayap yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).
Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :"Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim).
Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim)

a.       Pilar-pilar dasar dalam pemerintahan Politik Islam antara lain adalah :
1.      Kedaulatan di Tangan Syara’(hukum Islam)
2.      Kekuasaan di Tangan Umat
3.      Wajib Membai’at Satu Khalifah

Struktur Pemerintahan dan Administrasi dalam sistem Khalifah Politik Islam :
1.      Khalifah
2.      Mu’awin Tafwidh/Mentri tapi tidak berhak membuat UU (Pembantu Khalifah Bidang Pemerintahan)
Mu’awin Tanfidz (Pembantu Khalifah Bidang Administrasi)  Wali/Kepala Daerah.
3.      Amir Jihad – Mabes Angkatan Bersenjata
4.      Departemen Keamanan Dalam Negeri
5.      Departemen Luar Negeri
6.      Departemen Perindustrian
7.      Departemen Kehakiman
8.      Departemen Penerangan
9.      Kemaslahatan Publik
10.  Baitul Mal (rumah penyimpan harta) Majelis Ummah/Dewan Perwakilan Rakyat

b.       Sistem Politik dalam Negeri Khilafah
1.      Menerapkan syariat Islam kepada seluruh rakyat, Muslim maupun Non-Muslim;
2.      Memberikan kebebasan kepada rakyat Non-Muslim menjalankan ibadah, makan, minum, tatacara berpakaian, dan menikah menurut agama dan keyakinan mereka;
3.      Memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada setiap warga negara, Muslim dan Non-Muslim, kecuali yang menjadi kekhususan masing-masing;
4.      Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan umat Islam dalam satu negara, dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam;

c.        Sistem Politik Luar Negeri Khilafah
1.      Mengemban Islam kepada seluruh bangsa, negara dan umat lain;
2.      Menerapkan syariat Islam kepada bangsa, negara dan umat lain yang berhubungan dengan Khilafah;
3.      Berjihad dalam rangka membebaskan penghambaan manusia oleh  (‘ibadat al-’ibad) untuk menyembah Rabb al-’Ibad;

d.       Jaminan Penerapan Syariat Islam, di Dalam dan Luar Negeri:
1.      Ketakwaan individu, rakyat dan aparatur negara;
2.      Kontrol masyarakat (umat dan partai politik) yang mempunyai kesadaran ideologis;
3.      Penerapan Islam secara kaffah, adil dan konsekuen oleh negara kepada seluruh rakyat;

e.        Fungsi Organisasi dan Partai Dalam Sistem Khilafah:
1.      Edukasi: Mendidik umat dan masyarakat agar memahami Islam dengan benar;
2.      Agregasi: Menghimpun umat dan masyarakat berdasarkan ikatan Islam;
3.      Artikulasi: Menyampaikan aspirasi umat dan masyarakat yang sesuai dengan Islam, dan mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengannya; Organisasi dan partai seperti ini hukumnya Fardu Kifayah:

C.  SISTEM POLITIK ISLAM DI MASA RASULULLAH SAW
a.  Sejarah Politik Masa Nabi SAW. dan Khulafa’ al-Rāsyidîn

Pemerintahan Islam sejak dari masa Nabi Muhammad SAW di Madinah pada 622 M hingga Khulafa al-Rāsyidîn yang berakhir pada sekitar 656 M merepresentasikan sebuah upaya penegakan kebajikan di muka bumi. Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah kepemimpinan moral yang sangat peduli pada perwujudan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Seperti dicatat dalam sejumlah riwayat, pemerintahan Nabi di Madinah adalah pemerintahan yang toleran. Dokumen tentang toleransi dapat dibaca dalam Piagam Madinah yang berintikan antara lain:
penghormatan pada pemeluk agama yang berbeda, hidup bertetangga secara damai, kerja sama dalam keamanan, dan perlindungan bagi pihak-pihak yang teraniaya. Isi Piagam Madinah tersebut dicatat sebagai dokumen politik pertama dalam sejarah yang mengadopsi prinsip-prinsip toleransi. Selain itu, Piagam Madinah dilihat dari kacamata teori politik, dianggap memiliki gagasan-gagasan HAM modern meskipun lahir di masa pra-modern. Pemerintahan Nabi di Madinah berhasil menyatukan suku-suku yang bertikai menjadi satu bangsa. Tidaklah mudah menyatukan suku-suku yang berkonflik ratusan tahun di sana. Tetapi dengan kekuatan integritas moral yang kuat seperti Nabi SAW., masalah konflik dapat diatasi. Maka gampanglah jalan bagi Nabi untuk melakukan pembangunan berdasarkan al-Qur’an sehingga terciptalah kesejahtraan rakyat.
Menurut riwayat, tidak ada pemberontakan berarti selama Nabi memerintah di sana dari rakyatnya. Yang terjadi justru, ketaatan penuh rakyat pada kepemimpinan Nabi. Pernik-pernik konflik terjadi hanya dengan negara-negara tetangga yang takut kehilangan pengaruh kekuasaannya. Jadi, selama Nabi  Muhammad SAW menjadi pemimpin Negara Madinah, ia menjadi pemimpin yang adil dan menerapkan keagungan moral bagi rakyatnya. Itulah sebabnya A’isyah istri Nabi pernah mengatakan bahwa “akhlaq Rasulullah adalah al-Qur’an”. Al-Qur’an dan Sunnahnya menjadi undang-undang negara yang mengikat kaum Muslimin di sana. Sekalipun begitu, umat-umat lain juga dilindungi.
Dalam Q.S., al-Anbiyā’:107 disebutkan yang artinya, “Tidaklah Kami utus engkau selain menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Konsep rahmatan lil’ālamîn adalah konsep 2 toleransi di dalam Islam yang hingga sekarang sering dikutip sebagai teologi toleransi yang amat penting dalam relasi Islam dan negara. Demikianlah, kepemimpinan Nabi adalah cermin moralitas dan teladan indah bagi umat Islam dan bahkan umat manusia. Nabi SAW adalah model ideal umat yang karir hidupnya dapat memunculkan kearifan-kearifan politik umat. Hingga wafatnya pada Juni 632 M, Nabi Muhammad SAW telah menjadi Nabi-Penguasa yang efektif atas sebagian besar semenanjung Arabia. Pasca wafatnya Nabi, pemerintahan Islam diteruskan oleh empat khalifah yang utama (Khulafa’ al-Rāsyidîn), yakni Abu Bakar ra, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affān, dan Ali bin Abin Thalib. Keempat khalifah tersebut menyelenggarakan pemerintahan Islam mendekati pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Keadilan, penegakan hukum, musyawarah, dan egalitarianisme amat ditegakkan sehingga empat khalifah itu diberi gelar empat khalifah yang mendapat petunjuk. Meski ada riak-riak politik di dalam era keempat khalifah itu, tapi secara  keseluruhan menampakkan gerak moral yang amat kosnsisten dan perluasan wilayah yang amat efektif ke luar Jazirah Arabia. Selama tiga puluh tahun (30 tahun), keempat khalifah menampakkan sebuah pemerintahan politik Islam yang amat agung dan menjadi sejarah politik yang demokratis di dunia saat itu. Pasca keempat khalifah, pemerintahan Islam mengalami pasang-surut. Demikian pula sejarah Islam mengalami kebangkitan dan keruntuhan. Dari sejarah itu, menunjukkan garis konstan bahwa pemerintahan yang mengedepankan moralitas akan memperoleh kejayaan dan sebaliknya. Karena itu, sejarah politik Islam adalah sejarah pasangsurut antara yang ma’ruf dan yang mungkar. Umat Islam harus mengambil nilai-nilai dan prinsip-prinsip politik yang baik dan menjauhkan noda-noda
hitamnya jika ingin sebuah pemerintahan itu tegak di muka bumi.

b. Nilai-Nilai Politik Dalam al-Qur’an
Namun perlu dicatat, al-Qur’an bukanlah kitab politik. Ia hanya memberikan prinsip-prinsipnya saja dan bukan mengajari cara-cara berpolitik praktis. Dengan 3 demikian, perhatian utama al-Qur'an adalah  memberikan petunjuk yang benar kepada manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya kepada kebenaran dan suasana kehidupan yang baik. Sebagai kitab petunjuk, al-Qur'an mengarahkan manusia kepada hal-hal praktis. Ia memberi tekanan lebih atas amal perbuatan daripada gagasan. Bertolak dari sisi pandangan ini, maka iman barulah punya arti jika diikuti secara terpadu oleh perbuatan baik yang positif dan konstruktif. Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur'an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, al-Qur'an memberikan jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai perorangan dan sebagai anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang berimbang di dunia ini  terakhir kebahagiaan di akhirat. Al-Qur'an sendiri mengajarkan bahwa kehidupan di dunia merupakan prasyarat bagi kebahagiaan hidup yang akan datang seperti dinyatakan dalam al-Qur'an, ”Barang siapa buta di dunia ini, maka akan buta di akhirat, dan bahkan lebih sesat lagi perjalanannya” (terj. Q.s., al- Ahzāb 72) Bagi seorang mukmin, al-Qur'an merupakan manifestasi terakhir bagi rahmat Allah swt. kepada manusia, di samping sebagai prinsip kebijaksanaan yang terakhir pula. Jadi, jangan menjadikan al-Qur’an dan pemerintahan Nabi untuk instrument politik. Tapi ambillah prinsip-prinsip etiknya dan sesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial politik sehingga melahirkan suatu kombinasi moralitas Islam dan relevansi sosial politik. Wallāhu A’lamu
bil-Shawāb

D. KORELASI ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA

Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.
Politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.
Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.
Syari'ah Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari'at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqih siyasah dan sejarah Khilafah al-Rasyidah, misalnya dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi atau Abi Ya’la al-Hanbali.
Pada zaman Rasulullah dan Khulafa' al-Rasyidin dapat dipastikan, beliau-beliau itu di samping pimpinan agama sekaligus juga pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda—memelihara agama sekaligus mengatur dunia—dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antar masyarakat sipil dan dengan lembaga kekuasann.
Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan. Agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas'ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai pemimpin agama.
Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hambali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama pewaris Nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriyah saja.
Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.
Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.
Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.
Penyebaran Islam di Indonesia dapat disimak melalui pendekatan politik kultural dengan bantuan -atau sekurang-kurangnya toleransi- penguasa. Proses Islamisasi yang relatif cepat di Indonesia dengan jumlah penganut paling besar di seluruh dunia Islam, tidak lepas dari bantuan dan perlindungan yang diberikan penguasa. Dalam sejarah kontemporer, perkembangan politik Islam melalui pemimpin-pemimpinnya menegaskan, negara atau kekuatan politik struktural hanya diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin pelaksanaan ajaran-ajarannya dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Memang dari sudut pandangan ajaran formalnya, Islam sering -tidak selalu- mendapati dirinya dalam keadaan ambivalen di negeri. Di satu pihak ajaran formal Islam tidak menjadi sumber tunggal dalam penetapan kebijakan kehidupan negara, karena memang negara ini bukan negara Islam. Tetapi negara ini juga bukan negara sekuler, yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan keagamaan.
Dalam keadaan demikian, ajaran formal Islam berfungsi dalam kehidupan ini melalui jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian dan seterusnya). Dapat juga melalui jalur yang tidak langsung, melalui politik struktural. Jalur ini memungkinkan, karena kekayaan Islam yang hendak ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang Islami saja, melainkan sesuatu yang berwatak nasional.
Nilai-nilai Islam sebagai sumber budaya yang penting di Indonesia, sudah sewajarnya menjadi faktor menentukan dalam membentuk budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam suatu aktivitas dan sistem politik. Indikasi yang paling menonjol dalam hal ini adalah, bahwa ke lima sila dari Pancasila yang telah disepakati menjadi ideologi politik, semuanya bernafaskan nilai-nilai Islami.
Bagaimana implementasi nilai Islam dalam budaya politik yang Pancasilais, bergantung pada kekuatan nilai-nilai itu mempengaruhi proses politik itu sendiri. Bila terjadi kemerosotan pengaruh nilai-nilai keagamaan Islam dalam budaya politik, sesungguhnya yang terjadi adalah sekularisasi kultur politik. Ini lebih membahayakan dan lebih ruwet masalahnya, ketimbang pemisahan secara formal struktur pemerintahan dan keagamaan.
Meskipun di Indonesia tidak akan terjadi sekularisasi fungsional struktur pemerintahan dan keagamann secara tegas, namun sekularisasi kultur politik tidak mustahil dapat terjadi. Kemungkinan terjadinya hal ini cukup besar, seiring dengan perubahan sistem nilai, akibat kemajuan ilmu peangetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi perilaku politik formal-struktural.
Di sinilah pentingnya upaya kulturisasi politik, tanpa menimbulkan kerawanan-kerawanan tertentu terhadap proses perkembangan politik struktural. Bahkan perlu diupayakan adanya keseimbangan antara proses kulturisasi politik dengan proses politik struktural, agar tidak ada kesenjangan antara dua proseitu. Hal ini mungkin juga penting, untuk menghindarkan kecurigaan yang sering muncul dari kalangan elit politik formal terhadap aktivitas politik melalui jalur kultural.
Dalam ajaran Islam, pemenuhan keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan -tak perlu berlabel Islam- yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan syarat, bahwa kekuasaan rnemang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjadi moralis politik.
Hal ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi Islam, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam. Cara-cara tradisional dengan mengeksploitasi emosi massa pada simbol-simbol Islam, harus ditinggalkan. Yang lebih penting justru adalah mengorganisir kader politik muslim yang lebih lentur dan punya cakrawala luas, serta punya kejelian menganalisis masalah sosial dan politik, agar pada gilirannya kelompok politisi Muslim tidak selalu berada di pinggiran.
Peran ini sangat bergantung pada keluasan pandangan para elite Islam sendiri, kedalaman memahami Islam secara utuh, sekaligus keluasan cakrawala orang di luar kekuatan politik Islam dalam melihat potensi dan kekuatan moral Islam dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa untuk mencapai keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan. Memang upaya ini tidak begitu mudah dan mulus, karena masih cukup banyak kendala di kalangan kaum muslimin sendiri.
Wawasan politik kaum awam yang masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukanlah penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan mengabaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih Islami. Bila ini yang terjadi, maka kenyataan sekulerlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatud darain.







2.2 HAM
A. Pengertian HAM secara umum :
·         Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan. HAM Berlaku secara universal, artnya berlaku dimana saja bagi siapa saja dan tidak dapat diambil orang lain . 
·         Tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1.
B. Pengertian HAM dalam Islam

Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah SAW pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini. Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.

C. Sejarah Perkembangan Pengakuan HAM

1. Hak Asasi Manusia di Yunani
Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai – nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.

2. Hak Asasi Manusia di Inggris
Inggris sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut :

§  MAGNA CHARTA
Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
§  PETITION OF RIGHTS
Pada dasarnya Petition of Rights berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. 
§  HOBEAS CORPUS ACT

Hobeas Corpus Act adalah undang- undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. 

§  BILL OF RIGHTS
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang kebebasan berpendapat dan beragama.
2.      Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat

Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF INDEPENDENCE OF THE UNITED STATES.

Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebhagiaan.

Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow Wilson dan Jimmy Carter.
Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni :

Ø  Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
Ø  Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
Ø  Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
Ø  Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme Hitler (Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan – kebebasan tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar.



4. Hak Asasi Manusia di Prancis
Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada awal Revolusi Prancis. Perjuangan itu dilakukan untuk melawan kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION DES DROITS DE L’HOMME ET DU CITOYEN yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).
Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia masyarakat Prancis yang berada di Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi Prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. revolusi ini diprakarsai pemikir – pemikir besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire, serta Montesquieu.
5. Hak Asasi Manusia oleh PBB
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia.
6. Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. 
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia,yakni:
ü  Undang – Undang Dasar 1945
ü  Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
ü  Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia




7. Hak Asasi Manusia Menurut Islam
Petunjuk Ilahi yang berisikan hak dan kewajiban telah disampaikan pada umat manusia dari manusia itu ada. Diutusnya manusia pertama ke dunia mengindikasikan Allah telah memberi petunjuk kepada umat manusia. Lalu ketika umat manusia lupa dengan petunjuk tersebut, Allah mengutus Nabi dan rasul-Nya agar dapat mengingatkan mereka tentang keberadaan-Nya. Nabi Muhammad diutus untuk umat manusia sebagai nabi terakhir agar menyampaikan dan memberi teladan kehidupan yang sempurna kepada seluruh umat manusia sesuai dengan jalan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukan hasil dari pemikiran manusia, tetapi merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang diturunkan melalui para nabi dan rasul sejak permulaan umat manusia di atas bumi.
Aspek khas dalam konsep HAM Islami adalah tidak adanya orang lain yang dapat memaafkan pelanggaran hak-hak jika pelanggaran itu terjadi atas seorang yang harus dipenuhi haknya. Bahkan suatu negara Islam pun tidak dapat memaafkan pelanggaran HAM tersebut dan harus memberikan sanksi kecuali bila pihak yang dilanggar HAM-nya memaafkan pihak yang melanggar tersebut.
Dalam rangka memperingati abad ke-15 H, pada tanggal 12 Dzulkaidah atau 19 September 1981 para ahli hukum Islam mengemukakan “Universal Islamic Declaration of Human Rights” yang diangkat dari Alqur’an dan sunah Rasulullah SAW. Pernyataan HAM menurut ajaran Islam ini terdiri XXIII bab dan 63 pasal yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
D. Perbedaan Prinsip antara Konsep HAM dalam Pandangan Islam dan Barat
Ada perbedaan prinsip antara hak asasi musia dilihat dari sudut pandang barat dan Islam. Menurut pemikiran barat, hak asasi manusia semta-mata bersifat antroposentris yaitu segala sesuatu berpusat pada manusia. Dengan demikian, manusia yang sangat dipentingkan. Sebaliknya, dilihat dari sudut pandang Islam, hak-hak asasi manusia bersifat teosentris. Yaitu segala sesuatu berpusat kepada Tuhan. Dengan demikian Tuhan yang sangat dipentingkan. A.K. Brohi mengatakan: “berbeda dengan pendekatan barat, strategi Islam sangat mementingkan penghargaan kepada hak-hak asasi dan kemerdekaan dasar manusia sebagai sebuah aspek kwalitas dari kesadaran keagamaan yang terpatri didalam hati, pikiran dan jiwa para penganutnya. Perspektif Islam sungguh-sunggguh bersifat teosentris.
Pemikiran barat menempatkan manusia pada posisis sebagai tolak ukur segala sesuatu, didalm Islam melalui firman-Nya Allah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu, sedangkan manusia hanyalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Disinilah letak perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut pemikiran barat dengan menurut pola ajaran Islam. Makna dari teosentris bagi masyarakat Islam adalah manusia harus meyakaini ajaran pokok Islam yang dirumuskan pada dua kalimat syahadat. Yakni pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Setelah itu manusia baru melakukan perbuatan- perbuatan baik menurut keyakinan tersebut.
Petunjuk Ilahi yang berisikan hak dan kewajiban telah disampaikan pada umat manusia dari manusia itu ada. Diutusnya manusia pertama ke dunia mengindikasikan Allah telah memberi petunjuk kepada umat manusia. Lalu ketika umat manusia lupa dengan petunjuk tersebut, Allah mengutus Nabi dan rasul-Nya agar dapat mengingatkan mereka tentang keberadaan-Nya. Nabi Muhammad diutus untuk umat manusia sebagai nabi terakhir agar menyampaikan dan memberi teladan kehidupan yang sempurna kepada seluruh umat manusia sesuai dengan jalan Allah. Hal ini menunjukkan bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukan hasil dari pemikiran manusia, tetapi merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang diturunkan melalui para nabi dan rasul sejak permulaan umat manusia di atas bumi. 
Apabila prinsip Universal Declaration of Human Rights dibandingkan dengan Hak asasi manusia menurut Islam, maka dalam Alqur’an dan sunah rasul akan dijumpai berikut ini,
a.       Martabat Manusia. Dalam Alqur’an disebutkan bahwa manusia mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi (Q.S 17:70, 17:33, 5:32, dll)
b.      Prinsip persamaan. Bahwa sebenarnya semua manusia itu sama yang membedakan hanyalah imannya (Q.S 49:13)
c.       Prinsip kebebasan berpendapat. Islam memberikan kesempatan untuk bebas berpendapat asalkan tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
d.      Prinsip kebebasan beragama. Al qur’an menyatakan tidak boleh ada paksaan dalam beragama dan menjunjung tinggi kebebasan beragama (Q.S 2:256, 50:45, 88:22)
e.       Hak atas Jaminan Sosial. Di dalam Alqur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum bagi masyarakat (QS 51:19, 70:24, 104:2, 2:273, 9:60, dll)
f.       Hak atas harta benda. Dalam Islam hak milik seseorang sangat dijunjung tinggi.

2.3  Demokrasi

A. Pengertian demokrasi

Secara umum demokrasi adalah suatu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.

Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituante) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.

Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

B. Sejarah Demokrasi

Sebelum istilah demokrasi ditemukan oleh penduduk Yunani, bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di Mesopotamia. Ketika itu, bangsa Sumeria memiliki beberapa negara kota yang independen. Di setiap negara kota tersebut para rakyat seringkali berkumpul untuk mendiskusikan suatu permasalahan dan keputusan pun diambil berdasarkan konsensus atau mufakat. 

Barulah pada 508 SM, penduduk Athena di Yunani membentuk sistem pemerintahan yang merupakan cikal bakal dari demokrasi modern. Yunani kala itu terdiri dari 1.500 negara kota (poleis) yang kecil dan independen. Negara kota tersebut memiliki sistem pemerintahan yang berbeda-beda, ada yang oligarki, monarki, tirani dan juga demokrasi. Diantaranya terdapat Athena, negara kota yang mencoba sebuah model pemerintahan yang baru masa itu yaitu demokrasi langsung. Penggagas dari demokrasi tersebut pertama kali adalah Solon, seorang penyair dan negarawan. Paket pembaruan konstitusi yang ditulisnya pada 594 SM menjadi dasar bagi demokrasi di Athena namun Solon tidak berhasil membuat perubahan. Demokrasi baru dapat tercapai seratus tahun kemudian oleh Kleisthenes, seorang bangsawan Athena. Dalam demokrasi tersebut, tidak ada perwakilan dalam pemerintahan sebaliknya setiap orang mewakili dirinya sendiri dengan mengeluarkan pendapat dan memilih kebijakan.]Namun dari sekitar 150,000 penduduk Athena, hanya seperlimanya yang dapat menjadi rakyat dan menyuarakan pendapat mereka.

Demokrasi ini kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi pada 510 SM hingga 27 SM. Sistem demokrasi yang dipakai adalah demokrasi perwakilan dimana terdapat beberapa perwakilan dari bangsawan di Senat dan perwakilan dari rakyat biasa di Majelis. 
C. Pengertian Demokrasi dalam Islam
Dalam Islam ada yang dikenal dengan istilah Syura atau musyawarah. Yang merupakan derivasi (kata turunan) dari kata kerja ‘syawara’. Dan kata ‘syawara’ mempunyai beberapa makna, antara lain memeras madu dari sarang lebah; memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya; menampilkan diri dalam perang. Dan makna yang dominan adalah meminta pendapat dan mencari kebenaran.

“Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-syura: 36)

Dengan ayat tersebut, kita dapat mengerti bahwa Islam telah memposisikan musyawarah pada tempat yang agung. Hal tersebut menunjukan bahwa, Islam secara langsung menerapkan prinsip pengambilan keputusan;musyawarah yang menjadi sendi utama dalam demokrasi modern (dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat).

Yang menjadi poin penting dalam demokrasi bukan sistem trias politiknya, yang membagi pemerintahan kedalam tiga lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif), melainkan sisitem checks and balances yang berlangsung dalam pemerintahan itu. Tentunya agar bisa berjalan maka, harus ada keterbukaan dari setiap elemen dalam pemerintahan itu. Dan keterbukaan itu dapat diwujudkan dalam sebuah musyawarah yang efisien dan efektif. Tentu saja dengan tujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat.

Pada dasarnya, konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Hal ini ditunjukkan dengan :
1.      Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2.      Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.
3.      Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4.      Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.
5.      Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6.      Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7.      Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.

  
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
1.      Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan
2.      Demokrasi adalah bentuk pemerintahan negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
3.      Demokrasi menurut Islam bisa diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat orang lain dalam suatu forum untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai – nilai keagamaan.
4.      HAM adalah hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia ada di dalam kandungan.
5.      HAM dalam Islam didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu dan kewajiban bagi negara dan individu untuk menjaganya.

Saran:
1.      Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara demokrasi di Indonesia dan demokrasi Islam dan dapat melihat sisi baik dan buruknya.
2.      Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat memahami pentingnya HAM dalam kehidupan kita dan kewajiban kita untuk menjaganya.
3.      Diharapkan setelah membaca makalah ini dapat membedakan antara hukum Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia dan dapat melihat perbedaannya.


Daftar Pustaka

KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi di Kendal, 4 Maret 1989.
Azra, Azyumardi, dkk.2002. Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: dir. Perguruan Tinggi Agama Islam

Fanani, Sunan. 2010. Lembar Kerja Mahasiswa Pendidikan Agama Islam. Sidoarjo: PT. Al Maktabah.
Mansoer, Hamdan, dkk. 2004. Materi instruksional pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum. Jakarta : dir. Pt. agama Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar