Selasa, 14 November 2017

Etika dan Etiket Dalam Bekerja

MAKALAH FILSAFAT ILMU
ETIKA DAN ETIKET DALAM BEKERJA
Diajukan sebagai tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu

Dosen : Dr. Amini, SAg, MPd.

 




OLEH :
EDDY RAKHMAD PUTRA
NPM: 1720030035





PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2017



ETIKA DAN ETIKET DALAM BEKERJA


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada dewasa ini terlihat gejala-gejala kemerosotan etika. Cara pasti kiranya agak sukar menentukan faktor penyebabnya. Kata-kata etika, tidak hanya terdengar dalam ruang kuliah saja bdan tidak hanya menjadi monopoli kaum cendikiawan. Diluar kalangan intelektual pun sering disinggung tentang hal-hal seperti itu. Jika seseorang membaca surat kabar atau majalah, hampir setiap hari ditemui kata-kata etika. Berulang kali dibaca kalimat-kalimat semacam ini. Dalam dunia bisnis etika semakin merosot. Di televisi akhir-akhir ini banyak iklan yang kurang memerhatikan etika. Bahkan dalam pidato para pejabat pemerintah kata etika banyak digunakan, tetapi kenyataaannya masih banyak pejabat justru melanggar etika.
Etika merupakan yang berbicara nilai etika dan norma etika, membicarakan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai etika dan mengenai norma etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai etika dan pola perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal nilai yang merupakan salah satu dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap tindakannya selalu dipertanggung jawabkan.
Dalam hal etika dan etiket di dalam dunia pegawaian, seorang karyawan harus benar-benar memahami tentang etika dan etiket. Karyawan yang memahami dan benar-benar mempraktikkan etika yang baik dalam dunia pegawaian akan berhasil membuat orang disekitarnya juga akan bersikap baik untuknya. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang etika, macam-macam etika dan perbedaan etika dan etiket.
Juga dibahas bagaimana etika dan etiket harusnya berlaku di Dinas Pegawaian Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Aceh Tamiang

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Menurut Surajiyo Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminologi. (Surajiyo: 2010)
1. Arti Secara Etimologi
Filsafat dari kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap ilmu dan hikmah. Dalam hubungan ini al-Syabani berpendapat, bahwa filsafat bukanlah hikmah melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk itu ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
2. Arti Secara Terminologi
Menurut istilah (terminologi) filsafat adalah cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkan falsafah Islam, memusatkan perhatian pada falsafah Islam dan menciptakan sikap positif terhadap falsafah Islam. Filsafah Islam merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman.
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1.      Segi semantik: filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yaitu pengetahuan hikmah (wisdom). Jadi, philosophia berarti cinta pengetahuan,  kebijaksanaan dan kebenaran. Maksudnya ialah orang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya dan mengabadikan dirinya kepada pengetahuan.

2.      Segi praktis, filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir. Orang yang berpikir tentang filsafat disebut filosof, yaitu orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh di dalam tugasnya. Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Jadi, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. (M. Yatimin Abdullah: 2006)

B.    Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:

1.     Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,
2.     Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
3.     Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
4.     Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
5.     Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6.     Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
    Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut kian meluas dan berkembang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etikadalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri. (Alfan: 2011)
    Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu etika.
          Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai mekhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, dan berkomunikasi dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005)

C.    Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat

      Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia yaitu menganai kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan ilmu filsafat tentang perbuatan manusia. Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi tidak semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi hari saya menganakan lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu kiri, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya, sepatu kiri dulu baru kemudian sepatu kanan. Cara itu baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik saya, tetapi cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari sudut etika. Perbuatan itu boleh disebut tidak mempunyai relevansi etika
      Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan etika yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika filsafat merupakan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika sebagai cabang filsafat sebenarnya yang membedakan manusia daripada makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah menjadi tertib pada derajat di atas mereka. (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa etika sering disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia untuk mengambil sikap terhadap semuah norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai kesadaran moral yang otonom.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara etika deskriptif dan etika normatif.
1.   Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan penngalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertitik pangkal pada kenyataan bahwa terdapat beragam fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah berlaku dalam kehidupan manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
b.      Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari beragam fenomena ysng ada. Fenomenologi moral berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral yang terjadi masyarakat. Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak mempersalahkan apa yang salah.

2. Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-nilai yang seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk mengukur tentang apa yang terajdi.
Etika normatif mengandung dua bagian besar, yaitu: pertama membahas tentang teori nilai (theory of value) dan teori keharusan (theory of obligation). Kedua, membahas tentang etika teologis dan etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan, sedangkan teorin keharusan membahas tingkah laaku. Sedangkan etika teolog berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. (Muhammad In’am Esha, 2010)
Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan baik-buruk, benar-salah, tetepi diantara cabang-cabang ilmu filsafat mempunyai suatu kedudukan tersendiri. Ada banyak cabang filsafat, seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum, dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki suatu bidang tertentu, sama halnya seperti cabang-cabang filsafat yang disebut tadi. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan. Karena itu etika filsafat tidak jarang juga disebut praktis karena cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, mempunyai batasan-batasan juga. Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik menurut etika, malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek, jadi hasil sebuah perbuatan yang tidak baik (M. Yatim Abdullah: 2006).

D.    Hakikat Etika Filsafat

Etika filsafat sebagai  cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain karena pendapat etik tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat Yunani kuno etika filsfat sudah terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu, tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa pengetahuan bener tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari Socrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut Socrates orang yang mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk dipertahankan. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat Socrates tadi, pengethuan tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.
Etika filsafat  juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah orang dapat menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak mempunyai nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang abstrak dan kurang releven  untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Disini tidak perlu diselidiki sampai dimana prasangka itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-tidaknya  tentang etika sebagai cabang filsafat  dengan mudah dapat disebut dan disetujui relevansinya bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (M. Yatimin Abdullah: 2006) 
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)

E. Perbedaan dan Persamaan Etika dan Etiket
     1)  Perbedaan Etika dan Etiket
          Perbedaan antara etika dan etiket dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu sebagai berikut :
a.    Dari segi pengertian atau definisi
Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang bermakna watak kebiasaan. Etiket berasal dari bahasa Perancis, yaitu etiquette yang berarti sopan santun.
b.    Dari segi perbuatan
Etika
1.      Selalu berlaku walaupun tidak ada saksi mata.
Contoh : larangan untuk mencuri tetap ada walaupun tidak ada yang melihat kita mencuri.
2.      Bersifat jauh lebih absolut atau mutlak.
Contoh : “Jangan mencuri” adalah prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
3.      Memandang manusi dari segi dalam.
Contoh : Walaupun bertutur kata baik, pencuri tetaplah pencuri. Orang yang berpegang teguh pada etika tidak mungkin munafik.
4.      Memberi norma tentang perbuatan itu sendiri.
Contoh : Mengambil barang milik orang lain tanpa izin orang tersebut tidak diperbolehkan.
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Etiket menunjuk cara yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu.
1.    Hanya berlaku dalam pergaulan. Etiket tidak berlaku saat tidak ada orang lain atau saksi mata yang melihat.
Contoh : Sendawa di saat makan melakukan perilaku yang dianggap tidak sopan. Namun, hal itu tidak berlaku jika kita makan sendirian, kemudian sendawa dan tidak ada orang yang melihat sehingga tidak ada orang yang melihat sehingga tidak ada yang beranggapan bahwa kita tidak sopan.
2.    Bersifat relatif
Contoh : Yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
3.    Hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja.
Contoh : Banyak penipu dengan maksud jahat berhasil mengelabui korbannya karena penampilan dan tutur kata mereka yang baik.
4.    Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan oleh manusia.
Minyalnya : Memberikan sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan tangan kanan.
     2) Persamaan Etika dan Etiket
Ø Menyangkut obyek sama yaitu manusia, istilah-istilah dan aplikasinya hanya mengenai manusia.
Ø Keduanya mengatur perilaku manusia secara normatif, menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

F. Etika dan Etiket dalam kantor
            Setelah pembahasan mengenai definisi etika dari berbagai ahli, macam-macam etika serta perbedaan antara etika dan etiket, dalam hal ini juga dibahas etika dan etiket di kantor dalam pratiknya sebagai berikut.

Etika Kantor Dalam Praktik
            Dalam dunia kerja etika sangat penting, karena etika menjadi kunci dan panduan profesionalisme kerja, jadi sebelum bicara profesional atau tidak, yang namanya etika harus terlebih dahulu dipahami. Tanpa etika, tak ada nada yang namnya profesionalisme.  Etika dalam kantor memberikan petunjuk kepada setiap pegawai sebagai pedoman dalam bertindak dan memperlakukan siapa saja dengan cara yang baik dan sikap yang pantas. Sebagai seorang pegawai, sering kali berhubungan dengan banyak orang, baik itu rekan kerja, atasan, ataupun dengan orang yang jabatannya dibawah kita.
            Dalam pergaulan banyak hal sepele yang sering terlupakan ketika melakukan aktivitas di tempat kerja. Kita sering tidak sadar akan hal-hal sepele tersebut yang sebenarnya merupakan aturan tak tertulis yang menjadi salah satu indikator kualitas diti dan kerja. Mungkin ada orang yang bersikap tidak baik, karena dia tidak sadar akan hal itu. Misalnya berapa kali kita mendengar obrolan tentang urusan pribadi seseorang atau cerita seorang rekan yang bertingkah laku aneh kasak-kusuk yang nampaknya sepintas lalu sepele sering bersifat jahat dan dapat merugikan nama baik orang yang dipergunjingkan. Gunjingan semacam itu dapat berbalik seperti boomerang kepada si pengumpat sendiri, pada akhirnya orang lain tak percaya lagi kepada omongan orang tersebut. Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan di kantor dan semestina perlu dihindari :
1.        Membuat kumpulan atau golongan yang membela kepentingan mereka sendiri.
2.        Tidak masuk kantor dengan alasan “sakit” padahal kenyataannya hanya ingin bermalas-malas saja di rumah.
3.        Bergegas-gegas pulang pada waktu tutup kantor, sedangkan selalu datang terlambat.
4.        Sering memakai telepon kantor untuk urusan pribadi.
5.        Pulang kerja sebelum kerjanya.
6.        Tempat kerja selalu dimanfaatkan untuk mengobrol.
7.        Selalu menunda-nunda pegawaian yang seharusnya segera dapat diselesaikan.
8.        Boros dalam menggunakan alat-alat
9.        Melakukan hal-hal yang tidak termasuk tugas kantor, seperti mengisi teka-teki silang, bertamu ke bagian lain tanpa suatu urusan.
10.    Bersikap acuh tak acuh terhadap publik.

          Dikantor berlaku “hirarki”, yaitu mulai dari pejabat-pejabat yang memiliki pangkat kedudukannya, pegawai yang telah memiliki masa kerja yang cukup lama, merekalah yang mendapatkan penghormatan istimewa terlebih dahulu. Rasa hormat harus ditujukan kepada para pimpinan atau para sesepuh, kemudian rekan kerja, relasi, tamu maupun bahwahan.
          Dibawah ini ada beberapa petunjuk yang mungkin dapat dimanfaatkan :
1.      Tutur-sapa
Kebiasaan dalam tutur sapa dikantor yakni penggunaan sapaan “Bapak” atau “Saudara”. Di kantor asing tentunya menggunakan sapaan “Tuan” . Terhadap bawahan digunakan sapaan “Saudara” atau nama kecil pegawai. Ini sudah lazim dimana saja. Terhadap sesama rekan adalah dengan melihat bagaimana kebiasaan yang ada dikantor.
2.      Selama jam kerja
Selama jam kerja tidak boleh berhias di belakang meja tulis. Duduk diatas meja tulis, mengobrol dengan rekan-rekan, merokok atau makan selama jam kerja.
3.      Menerima tamu
Terhadap tamu-tamu (urusan bisnis/dinas) harus bersikap ramah, sopan, penuh perhatian seperti layaknya nyonya atau tuan rumah. Diperlukan kepribadian yang “kuat” dan “teguh” dalam melayani tamu.
4.      Bicara melalui telepon
Dalam percakapan berhadapan muka, orang dapat melewatkan kata-kata yang kurang terasa atau tidak jelas diucapkan. Tetapi melalui telepon, gerak-gerik, sopan santun serta muka tidaklah tampak, hanya suara yang terdengar. Oleh sebab itu, harus sanggup mengucapkan tiap-tiap kata dan kalimat dengan nada yang jelas dan terang. Lawan bicara di telepon, jauh lebih menghargai suara yang mudah ditangkap daripada senyum simpul yang tidak kelihatan.

Etiket Yang Perlu Ditunjukkan di Kantor
          Dimanapun seseorang berada, bisa saja melupakan etiket, meskipun pada dasarnya etiket itu sama, namun etiket di lingkungan kerja lebih kompleks sifatnya. Dalam pergaulan di kantor hendaknya perlu memperhatikan etiket yang berlaku di kantor tersebut. Mungkin dalam pergaulan biasa, diantara teman-teman, hal-hal yang menyangkut sopan santun tidak begitu ketat. Tetapi dalam lingkungan kantor yang sempit soal etiket harus sungguh-sungguh diperhatikan.
          Banyak hal yang harus dicermati, karena kantor terdiri dari banyak peraturan dan birokrasi yang mengatur mengenai sikap dan perilaku setiap pegawai kantor. Etiket bukan hanya mengatur kepantasan kita bersantap di meja makan, atau berbicara di telepon, tetapi juga meliputi berbagai aspek kehidupan. Mulai dari berkenalan, bertamu, bertelepon, menjamu relasi sampai tata cara mengendarai mobil di jalan raya pun ada etiketnya.
1.    Perkenalan
Memperkenalkan diri kepada rekan kerja yang baru senyum bersahabat dan sikap ramah : “apa kabar yani?”. Menyebut nama orang tersebut akan dapat membantu mengingatnya dikemudian hari. Kadang kala dalam memperkenalkan seseorang, bertindaklah dengan cepat dan efesien, sehingga membuat orang lain merasa senang. Misalnya cara memperkenalkan pria kepada wanita, pangkat yang lebih rendah kepada pangkat yang lebih tinggi dan lain-lain. Contoh kalimat untuk memperkenalkan seseorang, “Sari, saya ingin memperkenalkan Pak Hartono kepada Anda”. Kalimat tersebut juga bisa ditambahkan beberapa keterangan untuk membantu memancing suatu percakapan. Misalnya :”Sari, ini Bapak Harjito Kepala Bagian Pembukuan”.

2.    Ucapan Salam
Salam “Selamat Pagi” yang cerah dan gembira adalah salah satu citi sifat keramahan. Teman sekerja, para pelanggan dan para tamu senang memperoleh penentraman diri sebelum terjun ke bidang pegawaian masing-masing. Apabila akan keluar kantor atau pulang kerja, beberapa menit yang dibuang untuk sekedar berpamitan dengan perasaan gembira, adalah sebagai publicrelations yang lebih baik daripada tergopoh-gopoh pergi tanpa pamit.

3.    Urusan-urusan pribadi
Orang yang bijaksana tentu tidak akan membosankan atau mengganggu orang lain dengan cerita-cerita tentang masalah-masalah pribadinya atau menyombongkan diri dengan prestasi-prestasi yang telah dicapainya.

4.    Loyalitas
Selama menjadi anggota team di kantor, harus membantu team tersebut dan ikut serta memecahkan masalah yang terjadi. Sebagai pegawai yang loyal sudah pasti tidak akan mencari keuntungan pribadi dengan biaya kelompok. Hindarkan diri dari perdebatan yang tak berarti selama bekerja. Harus diingat pula bahwa oarang yang suka membuat gossip tidak akan mempunyai kawan. Jangan menceritakan yang tidak-tidak tentang rekan kerja. Hormati hak masing-masing pribadi dengan kehidupan pribadinya.

5.    Menjaga / pandai menyimpan rahasia
Loyalitas yang pertama adalah untuk pimpinan kantor. Berusaha untuk dapat menyimpan atau memegang rahasia yang tidak boleh diketahui umum. Sebagai pegawai harus dapat menjauhkan diri dari rekan-rekan yang sangat ingin tahu segala hal yang menyangkut rahasia pimpinan atau rahasia kantor.

6.    Ikut memikirkan orang lain
Ucapan-ucapan “silahkan” dan “terimakasih”, kartu ulang tahun yang tidak disangka-sangka, pesan penuh simpati adalah beberapa contoh dari sekian banyak ucapan yang dapat mengundang simpati atau penghargaan orang lain.

7.    Sukses bergaul dengan rekan sekantor
Tidak mudah untuk memperoleh simpati dan respek dari rekan kerja. Harus menerapkan etika dan tata krama di kantor, ditambah lagi dengan hal-hal yang ditemukan dari pengalaman di kantor. Permulaan yang baik adalah sebagai langkah awal yang diinjak untuk langkah selanjutnya. Sejauh mana keberhasilan dalam karir, akan banyak ditentukan oleh perkembangan keterampian dalam bidang human relation.

Etika Seorang Pemimpin di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Dalam arti ini kantor yang baik adalah kantor yang terdiri dari orang-orang yang bekerja secara produktif, mampu memberikan pelayanan maksimal pada masyarakat, dan, pada akhirnya, menjadi nomor satu di bidang kerjanya. Menarik bukan?
Namun sebagaimana dicatat oleh Tony Schwartz (2011), kontributor resmi Harvard Business Review, hanya 20 persen dari seluruh pegawai di dunia yang menyatakan, bahwa mereka bekerja di kantor yang baik. Logikanya, 80 persen lainnya merasa, bahwa mereka bekerja di kantor yang tidak baik.
Logikanya juga, hanya 20 persen orang yang berhasil mendirikan kantor yang baik. Sementara 80 persen lainnya gagal.
Hmmm.. bagaimana kita harus mengartikan gejala ini? Apakah ada solusi untuk masalah ini?
Padahal kalau dipikirkan lebih jauh, orang menghabiskan sebagian besar hidup mereka bekerja, entah di kantor orang lain, atau di kantor yang ia dirikan sendiri. Jika kantor itu tidak baik, betapa tidak bahagianya pasti hidup mereka?
Pada hemat saya kuncinya adalah pada karakter kepemimpinan yang ada di dalam berbagai kantor. Jadi bukan semata sosok pimpinan-pegawai, seperti kepala kantor, kepala bidang, kepala seksi, dan sebagainya, tetapi lebih pada karakter kepemimpinan kepala daerah  tersebut.
Seperti dijelaskan oleh Schwartz, seorang kepala kantor yang baik harus mengubah paradigmanya, dari memeras pegawai untuk mendapatkan keuntungan, menjadi lebih memperhatikan (dan berupaya memenuhi) empat kebutuhan dasar dari pegawainya, yakni kebutuhan, fisik, emosional, mental, dan spiritual. Hanya dengan begitu pegawai bisa merasa bersemangat dan terinspirasi untuk memberikan kekuatan terbaik mereka di dalam bekerja.
Analoginya juga sederhana. Jika tidak diberikan gizi yang mencukupi, maka tubuh manusia akan sakit, dan tak bisa bekerja. Sebaliknya jika gizi yang diberikan cukup, maka tubuh akan sehat, dan bisa bekerja secara maksimal. Ya kan?
Dengan berpijak pada pemikiran Tony Schwartz, saya ingin menjabarkan syarat-syarat yang diperlukan, supaya kita bisa menciptakan kantor (dan berbagai organisasi lainnya) yang baik. Saya juga akan coba mengaitkan pemikiran tersebut untuk konteks Indonesia.
 Pendapatan yang Layak
Sebuah kantor harus membayarkan gaji yang layak untuk pegawainya. Layak dalam arti seorang pegawai bisa hidup layak dengan gaji tersebut.
Banyak kantor di Indonesia menolak untuk membayarkan gaji yang layak untuk pegawainya. Akibatnya pegawai jadi tidak bersemangat.
Yang banyak juga terjadi adalah diskriminasi. Manajer dan direktur memperoleh gaji yang jauh lebih besar, daripada pegawai biasa.
Ini akan menciptakan kecemburuan sosial. Atmosfir kerja pun menjadi tidak enak.
Jika atmosfir kerja tidak enak, maka orang akan malas bekerja. Produktivitas dan kepuasan pelanggan dari kantor tersebut pun otomatis akan menurun. Ya kan?
 Rasa Memiliki
Orang akan bekerja lebih bersemangat, jika ia merasa memiliki kantor tersebut. Maka sangatlah baik jika pimpinan memberikan tunjangan tetap kepada pegawainya, dan juga bagian dari keuntungan yang diperoleh kantor.
Alternatif lainnya adalah dengan memberikan bonus yang memadai bagi para pegawai yang berprestasi. Prinsipnya adalah semua keberhasilan harus dirasakan oleh semua pegawai, bukan hanya segelintir orang.
Yang banyak terjadi di Indonesia adalah keuntungan kantor dilahap habis oleh pimpinan. Sementara pegawai nyaris tidak mendapatkan keuntungan, ataupun merasakan keberhasilan, dari kantor tersebut.
Pimpinan terlalu pelit untuk berbagi. Para pegawai melihat itu, merasa kecewa, dan lalu tidak bersemangat di dalam bekerja.
Di Indonesia banyak orang hanya sekedar bekerja, dan tak pernah merasa memiliki kantor tempat mereka bekerja. Mereka tidak bahagia di dalam bekerja. Ketidakbahagiaan itu pun berpengaruh pada kinerja mereka.
 Ruang yang Nyaman
Ruang kerja pun harus dibuat senyaman mungkin. Artinya ruang tersebut harus aman, nyaman, cukup luas untuk bekerja, dan bisa merangsang kreativitas.
Harus ada ruang privasi bagi setiap pegawai. Namun juga ada ruang bersama tempat para pegawai berbincang-bincang santai atau rapat.
Di Indonesia banyak kantor mengabaikan hal ini. Ruang kerja dibuat seminimalis mungkin, sehingga ongkos bisa ditekan.
Ruang kerja tidak aman, tidak nyaman, tidak luas, dan membosankan. Semuanya dilakukan atas nama penghematan.
Cara berpikir semacam ini akan jadi bumerang. Dengan ruang kerja yang menyesakkan dada, para pegawai akan merasa tidak puas, dan akhirnya kinerja mereka pun menurun.
Kinerja yang menurun akan membuat produktivitas dan kualitas produk menurun. Akibatnya pelanggan pun tidak puas, dan, dalam jangka panjang, kantor terancam bubar. Ya kan?
 Makanan yang Layak
Orang bekerja butuh makan. Iya dong? Dan bukan hanya sekedar makanan, tetapi makanan yang sehat, enak, dan murah.
Pimpinan perlu menyediakan tempat bagi karyawannya untuk memperoleh makanan yang sehat, enak, dan murah. Pegawai yang terpenuhi gizinya dengan harga yang terjangkau akan merasa bahagia dan bersemangat dalam kerjanya.
Di Indonesia banyak pimpinan kantor mengabaikan hal ini. Mereka tidak peduli dengan gizi karyawan, dan hanya sibuk memeras karyawan demi keuntungannya sendiri.
Banyak juga pimpinan bekerja sama dengan gerai makanan luar yang mahal. Semuanya dilakukan demi keuntungan kantongnya sendiri, dan tidak mempedulikan situasi gizi ataupun keuangan pegawainya. Ini pemimpin yang menyebalkan.
 Tempat Beristirahat
Pimpinan kantor juga harus mendirikan tempat beristirahat bagi pegawainya. Bahkan idealnya menurut Schwartz, pegawai harus mendapatkan kesempatan untuk tidur siang setiap harinya, supaya mereka bekerja lebih segar sore harinya.
Di Indonesia para pimpinan kantor tidak pernah memberikan waktu tidur siang bagi pegawainya. Mereka merasa bahwa itu adalah kegiatan yang tidak produktif.
Padahal kalau dipikir lebih jauh, jika memiliki waktu istirahat siang harinya, para pegawai akan merasa segar pada sore harinya. Kinerja dan produktivitas pun bisa meningkat.
 Ruang Olah Raga
Kantor juga harus memiliki fasilitas olah raga bagi pegawainya. Tidak hanya itu para pegawai pun juga didorong untuk berolah raga, supaya mereka tetap sehat dan segar setiap harinya.
Di Indonesia tempat olah raga dianggap sebagai ongkos yang memberatkan. Padahal jika dipikirkan lebih jauh, itu adalah investasi yang berguna untuk kantor.
Jika para pegawai sehat, maka absen pun akan menurun. Kantor pun tidak perlu membayar penggantian uang kesehatan yang terlalu besar.
Tempat istirahat dan tempat olah raga adalah investasi kantor untuk pegawainya. Investasi yang amat menguntungkan di kemudian harinya.
  Target Kerja yang Jelas
Target kerja harus jelas. Definisi keberhasilan kerja pun harus jelas, terukur, dan dipahami oleh semua pegawai.
Di Indonesia banyak pegawai dianggap sukses, jika ia dekat dengan atasan, lepas dari produktivitasnya bagus atau tidak. Ini namanya kolusi.
Ini budaya menjilat yang bisa merusak atmosfir kerja kantor. Banyaknya penjilat adalah tanda gagalnya kepemimpinan di kantor tersebut.
 Berikan Kebebasan
Selain target dan definisi keberhasilan kerja yang jelas, pimpinan juga harus memberikan kebebasan pada para pegawainya untuk mencapai itu semua dengan cara mereka sendiri, sejauh sejalan dengan garis kode etik dan aturan hukum. Pimpinan tidak perlu mendikte pegawainya seperti anak kecil.
Kebebasan itu mencakup kapan mereka bekerja, dimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja. Yang penting target dan keberhasilan kerja dapat tercapai.
Di Indonesia kantor curiga pada pegawainya. Pimpinan kantor mendikte pegawainya sampai pada hal-hal kecil yang tidak perlu.
Pegawai diperlakukan seperti anak kecil yang tolol. Mereka tidak memperoleh kebebasan untuk dibutuhkan untuk mencapai target kerja yang dibutuhkan. Alhasil keberhasilan pun jauh dari genggaman.
 Timbal Balik
Tidak hanya pimpinan yang bisa mengevaluasi kinerja pegawainya. Para pegawai pun harus diberi kesempatan dan didorong untuk mengevaluasi kinerja pimpinannya.
Hal ini penting untuk perkembangan kantor. Pimpinan seringkali tidak melihat apa yang dilihat oleh pegawainya, dan sebaliknya. Maka mereka perlu saling memberi masukan.
Ini akan menjamin tingkat kepuasan pegawai di dalam kantor. Pada akhirnya pelayanan yang diberikan oleh kantor akan meningkat, dan pelanggan akan merasa puas.
 Hormat dan Peduli
Pimpinan harus memperlakukan pegawainya dengan hormat dan peduli. Rasa hormat dan sikap peduli harus menyebar menjadi budaya kantor yang dihayati oleh semua.
Pimpinan pun harus tegas. Jika ada yang melanggar budaya ini, maka ia harus mendapat teguran ataupun hukuman yang memadai.
Rasa hormat terwujud di dalam penghargaan atas setiap hasil karya yang ada di kantor. Rasa peduli terwujud di dalam kepekaan pada kesulitan yang kiranya dialami orang lain, baik pegawai maupun pimpinan.
Di Indonesia pimpinan seringkali bersikap sewenang-wenang. Ia memandang rendah pegawainya, dan tak peduli pada kesulitan yang mereka hadapi.
Jika ini yang terjadi, pegawai pun akan membalas. Mereka tidak akan menghormati pemimpinnya. Mereka pun tidak akan peduli pada kesulitan yang dihadapi pemimpinnya.
Di depan mereka mungkin tampak hormat. Namun di belakang mereka akan berbicara jelek tentang pemimpinnya.
Inilah yang banyak terjadi di Indonesia. Atmosfir kerja tak enak. Tak heran jalan kita masih jauh untuk menjadi negara maju.
 Proyek yang Bermakna
Pimpinan kantor harus membuat kebijakan, supaya setiap pegawai memperoleh kesempatan untuk membuat proyek jangka panjang yang bermakna, baik bagi dirinya maupun bagi kantor. Pegawai tidak boleh dibebani dengan tugas-tugas kecil yang menyiksa diri, dan membuat mereka kehilangan gairah hidup.
Di Indonesia pimpinan ingin menimbun pegawainya dengan hal-hal kecil yang banyak sekali jumlahnya. Pimpinan tidak membiarkan pegawainya fokus untuk mengerjakan proyek yang sungguh bermakna bagi diri maupun kantornya.
Jika ada pegawai yang sedang berpikir, pimpinan langsung curiga, jangan-jangan ia sedang ngelamun pada jam kerja. Pegawai tidak dibiarkan berpikir, tetapi diperbudak dengan tugas-tugas kecil yang menyiksa jiwa.
Pegawai tidak bahagia. Hidup mereka dipenuhi dengan rasa terpaksa. Kantor pun tak berkembang, karena tidak ada ide-ide cemerlang yang muncul.
 Perkembangan yang Berkelanjutan
Pimpinan juga harus memastikan, bahwa setiap pegawai memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Para pegawai bisa diberikan keterampilan praktis yang baru, atau dikembangkan soft skill-nya.
Singkat kata pegawai harus disiapkan untuk menjadi pemimpin di kemudian hari. Mereka tidak hanya bekerja, tetapi juga disiapkan secara terencana untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang unggul di masa depan.
Di Indonesia pimpinan tidak banyak peduli dengan perkembangan pegawainya. Segala bentuk peningkatan keterampilan pegawai dianggap lebih sebagai biaya, sehingga prosedurnya dipersulit.
Tak heran banyak kantor mengalami krisis kepemimpinan sekarang ini. Ini terjadi karena mereka pelit dalam mengalokasikan sumber daya untuk mengembangkan kemampuan praktis maupun karakter pegawainya.

Punya Idealisme
Pimpinan juga tidak boleh bekerja untuk mencapai keuntungan finansial semata. Pimpinan harus bekerja untuk nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi, yang bermakna pada masyarakat dan dunia.
Keuntungan finansial perlu. Tetapi tidak pernah boleh menjadi tujuan utama, melainkan hanya alat untuk tujuan lain yang lebih tinggi, yakni perbaikan kualitas kehidupan di masyarakat, ataupun di dunia.
Pimpinan juga perlu menyatakan ini dengan tegas kepada para pegawainya. Hanya dengan begitu para pegawai menyadari, bahwa mereka bekerja untuk sesuatu yang lebih bermakna daripada sekedar meraup uang sebanyak mungkin.
Di Indonesia banyak pimpinan kantor bekerja semata untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Mereka tidak punya idealisme.
Kantornya menjadi dangkal, kering, dan tak punya nilai tambah pada masyarakat luas. Para pegawainya pun tak merasa bangga bekerja di sana.
Bahkan untuk memperbesar untung, mereka rela melakukan apapun, termasuk merugikan pegawai, bahkan pelanggan. Kantor semacam ini hanya hadir untuk merusak masyarakat.
Secara empiris sebagaimana dicatat oleh Schwartz, belum pernah ada kantor yang mewujudkan semua hal di atas. Paling dekat menurutnya adalah Google, dan itu pasti memberikan sumbangan bagi keberhasilan mereka.
Saya pikir apa yang dinyatakan Schwartz juga penting untuk kita di Indonesia. Kita ingin dan butuh untuk bekerja atau mendirikan kantor (ataupun organisasi lainnya) yang baik bagi semua. Bukan begitu?

   
PENUTUP
            Kesimpulan
·         Etika adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya serta menegaskan yang baik dan yang buruk.
·         Etiket adalah menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan
·         Perbedaan antara etika dan etiket bias dilihat dari segi pengertiannya dan dari perbuatannya.
·         Tony Schwartz (2011), kontributor resmi Harvard Business Review, menyampaikan bahwa hanya 20 persen dari seluruh pegawai di dunia yang menyatakan, bahwa mereka bekerja di kantor yang baik. Logikanya, 80 persen lainnya merasa, bahwa mereka bekerja di kantor yang tidak baik.
·         Karakter pemimpin yang baik akan membawa kerbehasilan bagi kinerja pada suatu kantor.


DAFTAR PUSTAKA

Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Etika. Jakarta. Rajawali Perss.
Esha, Muhammad In’am. 2010. Menuju Pemikiran Filsafat. Jakarta. Maliki Perss.
Mufid, Muhamad. 2009. Etika Filsafat Komunikasi. Jakarta. Kencana.
Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung. Mulia Pers.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara.
______. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara.
Syadalim, M. Ahmad. 1999. Filsafat Umum. Jakarta. Pustaka Setia
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
___________. 2005. Filsafat Ilmu. Bandung. Bumi Aksara.
Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi : Tantangan Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta : Salemba Empat
Berten, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius
Dwiantara, Lukas dan Hadi Sumarto, Rumsari. 2006. Etiket di Tempat Kerja. Yogyakarta: Kanisius
Wattimena, Reza A.A. https://rumahfilsafat.com/2011/09/24/kepemimpinan-yang-memuaskan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar