MAKALAH FILSAFAT ILMU
ETIKA DAN ETIKET DALAM BEKERJA
Diajukan sebagai tugas mata
kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen : Dr. Amini, SAg, MPd.
OLEH :
EDDY RAKHMAD PUTRA
NPM: 1720030035
PROGRAM STUDI MAGISTER
MANAJEMEN
FAKULTAS PASCASARJANA
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2017
ETIKA DAN ETIKET DALAM BEKERJA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dewasa ini terlihat gejala-gejala kemerosotan etika. Cara pasti
kiranya agak sukar menentukan faktor penyebabnya. Kata-kata etika, tidak hanya
terdengar dalam ruang kuliah saja bdan tidak hanya menjadi monopoli kaum
cendikiawan. Diluar kalangan intelektual pun sering disinggung tentang hal-hal
seperti itu. Jika seseorang membaca surat kabar atau majalah, hampir setiap
hari ditemui kata-kata etika. Berulang kali dibaca kalimat-kalimat semacam ini.
Dalam dunia bisnis etika semakin merosot. Di televisi akhir-akhir ini banyak
iklan yang kurang memerhatikan etika. Bahkan dalam pidato para pejabat
pemerintah kata etika banyak digunakan, tetapi kenyataaannya masih banyak
pejabat justru melanggar etika.
Etika merupakan yang berbicara nilai etika dan norma etika, membicarakan
perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat
menekankan pendekatan kritis dalam melihat nilai etika dan mengenai norma
etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai etika
dan pola perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal nilai yang merupakan
salah satu dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia untuk
bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap
tindakannya selalu dipertanggung jawabkan.
Dalam hal etika dan etiket di dalam dunia pegawaian,
seorang karyawan harus benar-benar memahami tentang etika dan etiket. Karyawan
yang memahami dan benar-benar mempraktikkan etika yang baik dalam dunia pegawaian
akan berhasil membuat orang disekitarnya juga akan bersikap baik untuknya. Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang etika, macam-macam etika
dan perbedaan etika dan etiket.
Juga dibahas bagaimana etika dan etiket harusnya
berlaku di Dinas Pegawaian Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Aceh Tamiang
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan
antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir
sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Menurut Surajiyo Pengertian filsafat dapat
ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminologi. (Surajiyo: 2010)
1. Arti Secara Etimologi
Filsafat dari
kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang
berarti ilmu atau hikmah. Secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap ilmu dan hikmah. Dalam hubungan ini al-Syabani
berpendapat, bahwa filsafat bukanlah hikmah melainkan cinta terhadap hikmah dan
berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap
positif terhadapnya. Untuk itu ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.
2. Arti Secara Terminologi
Menurut istilah (terminologi) filsafat
adalah cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkan falsafah Islam,
memusatkan perhatian pada falsafah Islam dan menciptakan sikap positif terhadap
falsafah Islam. Filsafah Islam merupakan medan pemikiran yang terus berkembang
dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat
islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting
lagi adalah memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui
kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman.
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua
segi, yaitu:
1.
Segi semantik: filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah.
Dari bahasa Yunani yaitu philosophia, yaitu pengetahuan hikmah
(wisdom). Jadi, philosophia berarti cinta pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran.
Maksudnya ialah orang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya dan
mengabadikan dirinya kepada pengetahuan.
2.
Segi praktis, filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir.
Orang yang berpikir tentang filsafat disebut filosof, yaitu orang yang
memikirkan hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh di dalam tugasnya.
Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari dan memikirkan suatu
kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Jadi, filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. (M. Yatimin Abdullah: 2006)
B. Hubungan
Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
mengkaji segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan
pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
1. Metafisika yaitu
kajian dibalik alam yang nyata,
2. Kosmologia yaitu
kajian tentang alam,
3. Logika yaitu pembahasa
tentang cara berpikir cepat dan tepat,
4. Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
5. Teologi yaitu
pembahasan tentang ketuhanan,
6. Antropologi yaitu
pembahasan tentang manusia.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu
yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut
kian meluas dan berkembang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan
terlepas dari filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam
pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
(Alfan: 2011)
Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu
Sina seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa
manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya.
Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka
ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan badan dalam
keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam
keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk
dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat
dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu etika.
Ibn Khaldun dalam melihat manusia
mendasarkan pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan
yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai mekhluk berpikir. Oleh
karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Lewat kemampuan
berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh
perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam
ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa
manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakla
ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya
pembinaan manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia yang
terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat
berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia,
memperlakukannya, dan berkomunikasi dengannya. Dengan cara demikian akan
tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang
aman dan damai (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan
untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik
atau buruk. Etika memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha
mencari sebab yang sedalam-dalamnya berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat
ilmu, jika memikirkan etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005)
C. Etika
Sebagai Ciri Khas Filsafat
Etika
filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia yaitu menganai
kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan ilmu filsafat tentang
perbuatan manusia. Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau
buruk, tetapi tidak semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh,
bila di pagi hari saya menganakan lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu
kiri, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan baik atau buruk. Boleh saja
sebaliknya, sepatu kiri dulu baru kemudian sepatu kanan. Cara itu baik dari
sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik saya, tetapi cara
pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari sudut etika.
Perbuatan itu boleh disebut tidak mempunyai relevansi etika
Immanuel
Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan etika yang
tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai
kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika
filsafat merupakan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu
didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika sebagai cabang
filsafat sebenarnya yang membedakan manusia daripada makhluk Tuhan lainnya dan
menempatkannya bila telah menjadi tertib pada derajat di atas mereka. (M.
Yatimin Abdullah: 2006).
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa etika sering disebut filsafat
moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia
dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau
benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti
kewajiban-kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya
berbuat atau bertindak.
Tindakan manusia
ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia untuk mengambil sikap
terhadap semuah norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai
kesadaran moral yang otonom.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan
antara etika deskriptif dan etika normatif.
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan
penngalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertitik pangkal pada
kenyataan bahwa terdapat beragam fenomena moral yang dapat digambarkan dan
diuraikan secara ilmiah. Etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan
kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. Etika
deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral
yang pernah berlaku dalam kehidupan manusia dalam kurun waktu dan tempat
tertentu.
b.
Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari
beragam fenomena ysng ada. Fenomenologi moral berkepentingan untuk menjelaskan
fenomena moral yang terjadi masyarakat. Ia tidak memberikan petunjuk moral dan
tidak mempersalahkan apa yang salah.
2. Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau
norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan. Etika ini dapat
menjelaskan tentang nilai-nilai yang seharusnya dilakukan serta memungkinkan
manusia untuk mengukur tentang apa yang terajdi.
Etika normatif mengandung dua bagian besar, yaitu: pertama membahas tentang
teori nilai (theory of value) dan teori keharusan (theory of
obligation). Kedua, membahas tentang etika teologis dan etika deontelogis.
Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan, sedangkan teorin keharusan
membahas tingkah laaku. Sedangkan etika teolog berpendapat bahwa moralitas
suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi
dorongan dari tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh
keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip
tertentu. (Muhammad In’am Esha, 2010)
Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan
baik-buruk, benar-salah, tetepi diantara cabang-cabang ilmu filsafat mempunyai
suatu kedudukan tersendiri. Ada banyak cabang filsafat, seperti filsafat alam,
filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum, dan filsafat agama. Sepintas
lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki suatu bidang tertentu, sama halnya
seperti cabang-cabang filsafat yang disebut tadi. Semua cabang filsafat
berbicara tentang yang ada, sedangkan etika filsafat membahas yang harus
dilakukan. Karena itu etika filsafat tidak jarang juga disebut praktis karena
cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau
tidak boleh dilakukan manusia.
Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, mempunyai batasan-batasan
juga. Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk ujian mata kuliah
etika, belum tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang
paling baik menurut etika, malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya
sekedar hasil nyontek, jadi hasil sebuah perbuatan yang tidak baik (M. Yatim
Abdullah: 2006).
D. Hakikat
Etika Filsafat
Etika filsafat sebagai cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan
seseorang dalam hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur
tingkah laku dalam pendapat-pendapat secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu
dapat dirasakan antara lain karena pendapat etik tidak jarang berbeda dengan
pendapat orang lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan
sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari
sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan
wacana yang khas bagi perilaku kehidupan manusia, dibandingkan dengan ilmu lain
yang juga membahas tingkah laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal
sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat Yunani kuno etika filsfat sudah terbentuk terbentuk
dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu, tetapi
sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang
didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta.
Ilmu-ilmu itu bersifat emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka
emperis (pengalaman inderawi) yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium,
dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan
jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu
harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu
saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang
hal-hal yang amat konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa
pengetahuan bener tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh
perilaku yang benar juga. Itulah ajaran terkenal dari Socrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut Socrates
orang yang mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan
juga. Orang yang berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam
mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk
dipertahankan. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika,
belum terjamin perilakunya baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu pasti.
Orang-orang yang hampir yang tidak mendapat pendidikan di sekolah, tetapi
selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat mengagumkan. Namun demikian,
ada kebenarannya juga dalam pendapat Socrates tadi, pengethuan tentang etika
merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai kematangan perilaku
yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat memberikan
suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk
menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.
Etika filsafat juga bukan filsafat praktis dalam arti ia
menyajikan resep-resep yang siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk
yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang
dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang teman-teman yang
menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah orang dapat
menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab,
nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak
mempunyai nama harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena
membahas hal-hal yang abstrak dan kurang releven untuk hidup
sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap tidak jauh dari kenyataan
sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Disini tidak perlu
diselidiki sampai dimana prasangka itu mengandung kebenaran. Tetapi
setidak-tidaknya tentang etika sebagai cabang
filsafat dengan mudah dapat disebut dan disetujui relevansinya bagi
banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (M. Yatimin Abdullah: 2006)
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak
memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan
pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan
mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika tidak membiarkan
pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha
untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu pada
baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan
manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah
tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan manusia dilihat
dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu
dan terbatas. (Surajiyo: 2005)
E. Perbedaan dan Persamaan Etika dan Etiket
1) Perbedaan Etika dan Etiket
Perbedaan antara etika dan etiket
dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu sebagai berikut :
a.
Dari segi pengertian atau definisi
Etika
berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang bermakna watak kebiasaan.
Etiket berasal dari bahasa Perancis, yaitu etiquette yang berarti sopan
santun.
b.
Dari segi perbuatan
Etika
1.
Selalu berlaku walaupun tidak ada saksi mata.
Contoh
: larangan untuk mencuri tetap ada walaupun tidak ada yang melihat kita
mencuri.
2.
Bersifat jauh lebih absolut atau mutlak.
Contoh
: “Jangan mencuri” adalah prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
3.
Memandang manusi dari segi dalam.
Contoh
: Walaupun bertutur kata baik, pencuri tetaplah pencuri. Orang yang berpegang
teguh pada etika tidak mungkin munafik.
4.
Memberi norma tentang perbuatan itu sendiri.
Contoh
: Mengambil barang milik orang lain tanpa izin orang tersebut tidak
diperbolehkan.
Etiket
menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Etiket menunjuk
cara yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu
kalangan tertentu.
1.
Hanya berlaku dalam pergaulan. Etiket tidak berlaku saat tidak ada
orang lain atau saksi mata yang melihat.
Contoh
: Sendawa di saat makan melakukan perilaku yang dianggap tidak sopan. Namun,
hal itu tidak berlaku jika kita makan sendirian, kemudian sendawa dan tidak ada
orang yang melihat sehingga tidak ada orang yang melihat sehingga tidak ada
yang beranggapan bahwa kita tidak sopan.
2.
Bersifat relatif
Contoh
: Yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan bisa saja dianggap sopan
dalam kebudayaan lain.
3.
Hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja.
Contoh
: Banyak penipu dengan maksud jahat berhasil mengelabui korbannya karena
penampilan dan tutur kata mereka yang baik.
4.
Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan oleh
manusia.
Minyalnya
: Memberikan sesuatu kepada orang lain dengan menggunakan tangan kanan.
2) Persamaan Etika dan Etiket
Ø Menyangkut
obyek sama yaitu manusia, istilah-istilah dan aplikasinya hanya mengenai manusia.
Ø Keduanya
mengatur perilaku manusia secara normatif, menyatakan apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
F. Etika dan
Etiket dalam kantor
Setelah pembahasan mengenai definisi
etika dari berbagai ahli, macam-macam etika serta perbedaan antara etika dan
etiket, dalam hal ini juga dibahas etika dan etiket di kantor dalam pratiknya
sebagai berikut.
Etika Kantor Dalam Praktik
Dalam dunia kerja etika sangat
penting, karena etika menjadi kunci dan panduan profesionalisme kerja, jadi
sebelum bicara profesional atau tidak, yang namanya etika harus terlebih dahulu
dipahami. Tanpa etika, tak ada nada yang namnya profesionalisme. Etika dalam kantor memberikan petunjuk kepada
setiap pegawai sebagai pedoman dalam bertindak dan memperlakukan siapa saja
dengan cara yang baik dan sikap yang pantas. Sebagai seorang pegawai, sering
kali berhubungan dengan banyak orang, baik itu rekan kerja, atasan, ataupun
dengan orang yang jabatannya dibawah kita.
Dalam pergaulan banyak hal sepele
yang sering terlupakan ketika melakukan aktivitas di tempat kerja. Kita sering
tidak sadar akan hal-hal sepele tersebut yang sebenarnya merupakan aturan tak
tertulis yang menjadi salah satu indikator kualitas diti dan kerja. Mungkin ada
orang yang bersikap tidak baik, karena dia tidak sadar akan hal itu. Misalnya
berapa kali kita mendengar obrolan tentang urusan pribadi seseorang atau cerita
seorang rekan yang bertingkah laku aneh kasak-kusuk yang nampaknya sepintas
lalu sepele sering bersifat jahat dan dapat merugikan nama baik orang yang
dipergunjingkan. Gunjingan semacam itu dapat berbalik seperti boomerang kepada
si pengumpat sendiri, pada akhirnya orang lain tak percaya lagi kepada omongan
orang tersebut. Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan di kantor dan
semestina perlu dihindari :
1.
Membuat kumpulan atau golongan yang membela kepentingan mereka
sendiri.
2.
Tidak masuk kantor dengan alasan “sakit” padahal kenyataannya hanya
ingin bermalas-malas saja di rumah.
3.
Bergegas-gegas pulang pada waktu tutup kantor, sedangkan selalu
datang terlambat.
4.
Sering memakai telepon kantor untuk urusan pribadi.
5.
Pulang kerja sebelum kerjanya.
6.
Tempat kerja selalu dimanfaatkan untuk mengobrol.
7.
Selalu menunda-nunda pegawaian yang seharusnya segera dapat
diselesaikan.
8.
Boros dalam menggunakan alat-alat
9.
Melakukan hal-hal yang tidak termasuk tugas kantor, seperti mengisi
teka-teki silang, bertamu ke bagian lain tanpa suatu urusan.
10.
Bersikap acuh tak acuh terhadap publik.
Dikantor berlaku “hirarki”, yaitu
mulai dari pejabat-pejabat yang memiliki pangkat kedudukannya, pegawai yang
telah memiliki masa kerja yang cukup lama, merekalah yang mendapatkan
penghormatan istimewa terlebih dahulu. Rasa hormat harus ditujukan kepada para
pimpinan atau para sesepuh, kemudian rekan kerja, relasi, tamu maupun bahwahan.
Dibawah ini ada beberapa petunjuk yang
mungkin dapat dimanfaatkan :
1.
Tutur-sapa
Kebiasaan
dalam tutur sapa dikantor yakni penggunaan sapaan “Bapak” atau “Saudara”. Di
kantor asing tentunya menggunakan sapaan “Tuan” . Terhadap bawahan digunakan
sapaan “Saudara” atau nama kecil pegawai. Ini sudah lazim dimana saja. Terhadap
sesama rekan adalah dengan melihat bagaimana kebiasaan yang ada dikantor.
2.
Selama jam kerja
Selama
jam kerja tidak boleh berhias di belakang meja tulis. Duduk diatas meja tulis,
mengobrol dengan rekan-rekan, merokok atau makan selama jam kerja.
3.
Menerima tamu
Terhadap
tamu-tamu (urusan bisnis/dinas) harus bersikap ramah, sopan, penuh perhatian
seperti layaknya nyonya atau tuan rumah. Diperlukan kepribadian yang “kuat” dan
“teguh” dalam melayani tamu.
4.
Bicara melalui telepon
Dalam
percakapan berhadapan muka, orang dapat melewatkan kata-kata yang kurang terasa
atau tidak jelas diucapkan. Tetapi melalui telepon, gerak-gerik, sopan santun
serta muka tidaklah tampak, hanya suara yang terdengar. Oleh sebab itu, harus
sanggup mengucapkan tiap-tiap kata dan kalimat dengan nada yang jelas dan
terang. Lawan bicara di telepon, jauh lebih menghargai suara yang mudah
ditangkap daripada senyum simpul yang tidak kelihatan.
Etiket Yang Perlu Ditunjukkan di Kantor
Dimanapun seseorang berada, bisa saja
melupakan etiket, meskipun pada dasarnya etiket itu sama, namun etiket di
lingkungan kerja lebih kompleks sifatnya. Dalam pergaulan di kantor hendaknya perlu memperhatikan etiket
yang berlaku di kantor tersebut. Mungkin dalam pergaulan biasa, diantara
teman-teman, hal-hal yang menyangkut sopan santun tidak begitu ketat. Tetapi
dalam lingkungan kantor yang sempit soal etiket harus sungguh-sungguh
diperhatikan.
Banyak hal yang harus dicermati,
karena kantor terdiri dari banyak peraturan dan birokrasi yang mengatur
mengenai sikap dan perilaku setiap pegawai kantor. Etiket bukan hanya mengatur
kepantasan kita bersantap di meja makan, atau berbicara di telepon, tetapi juga
meliputi berbagai aspek kehidupan. Mulai dari berkenalan, bertamu, bertelepon,
menjamu relasi sampai tata cara mengendarai mobil di jalan raya pun ada
etiketnya.
1.
Perkenalan
Memperkenalkan
diri kepada rekan kerja yang baru senyum bersahabat dan sikap ramah : “apa
kabar yani?”. Menyebut nama orang tersebut akan dapat membantu mengingatnya
dikemudian hari. Kadang kala dalam memperkenalkan seseorang, bertindaklah
dengan cepat dan efesien, sehingga membuat orang lain merasa senang. Misalnya
cara memperkenalkan pria kepada wanita, pangkat yang lebih rendah kepada
pangkat yang lebih tinggi dan lain-lain. Contoh kalimat untuk memperkenalkan
seseorang, “Sari, saya ingin memperkenalkan Pak Hartono kepada Anda”. Kalimat
tersebut juga bisa ditambahkan beberapa keterangan untuk membantu memancing
suatu percakapan. Misalnya :”Sari, ini Bapak Harjito Kepala Bagian
Pembukuan”.
2.
Ucapan Salam
Salam
“Selamat Pagi” yang cerah dan gembira adalah salah satu citi sifat keramahan.
Teman sekerja, para pelanggan dan para tamu senang memperoleh penentraman diri
sebelum terjun ke bidang pegawaian masing-masing. Apabila akan keluar kantor
atau pulang kerja, beberapa menit yang dibuang untuk sekedar berpamitan dengan
perasaan gembira, adalah sebagai publicrelations yang lebih baik daripada
tergopoh-gopoh pergi tanpa pamit.
3.
Urusan-urusan pribadi
Orang
yang bijaksana tentu tidak akan membosankan atau mengganggu orang lain dengan
cerita-cerita tentang masalah-masalah pribadinya atau menyombongkan diri dengan
prestasi-prestasi yang telah dicapainya.
4.
Loyalitas
Selama
menjadi anggota team di kantor, harus membantu team tersebut dan ikut serta
memecahkan masalah yang terjadi. Sebagai pegawai yang loyal sudah pasti tidak
akan mencari keuntungan pribadi dengan biaya kelompok. Hindarkan diri dari
perdebatan yang tak berarti selama bekerja. Harus diingat pula bahwa oarang
yang suka membuat gossip tidak akan mempunyai kawan. Jangan menceritakan yang
tidak-tidak tentang rekan kerja. Hormati hak masing-masing pribadi dengan
kehidupan pribadinya.
5.
Menjaga / pandai menyimpan rahasia
Loyalitas
yang pertama adalah untuk pimpinan kantor. Berusaha untuk dapat menyimpan atau
memegang rahasia yang tidak boleh diketahui umum. Sebagai pegawai harus dapat
menjauhkan diri dari rekan-rekan yang sangat ingin tahu segala hal yang
menyangkut rahasia pimpinan atau rahasia kantor.
6.
Ikut memikirkan orang lain
Ucapan-ucapan
“silahkan” dan “terimakasih”, kartu ulang tahun yang tidak disangka-sangka,
pesan penuh simpati adalah beberapa contoh dari sekian banyak ucapan yang dapat
mengundang simpati atau penghargaan orang lain.
7.
Sukses bergaul dengan rekan sekantor
Tidak mudah
untuk memperoleh simpati dan respek dari rekan kerja. Harus menerapkan etika
dan tata krama di kantor, ditambah lagi dengan hal-hal yang ditemukan dari
pengalaman di kantor. Permulaan yang baik adalah sebagai langkah awal yang
diinjak untuk langkah selanjutnya. Sejauh mana keberhasilan dalam karir, akan
banyak ditentukan oleh perkembangan keterampian dalam bidang human relation.
Etika Seorang
Pemimpin di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dalam arti ini kantor
yang baik adalah kantor yang terdiri dari orang-orang yang bekerja secara
produktif, mampu memberikan pelayanan maksimal pada masyarakat, dan, pada akhirnya, menjadi nomor satu
di bidang kerjanya. Menarik bukan?
Namun sebagaimana dicatat oleh Tony Schwartz (2011), kontributor resmi
Harvard Business Review, hanya 20 persen dari seluruh pegawai di dunia yang
menyatakan, bahwa mereka bekerja di kantor yang baik. Logikanya, 80 persen
lainnya merasa, bahwa mereka bekerja di kantor yang tidak baik.
Logikanya juga, hanya
20 persen orang yang berhasil mendirikan kantor yang baik. Sementara 80 persen
lainnya gagal.
Hmmm.. bagaimana kita
harus mengartikan gejala ini? Apakah ada solusi untuk masalah ini?
Padahal kalau
dipikirkan lebih jauh, orang menghabiskan sebagian besar hidup mereka bekerja,
entah di kantor orang lain, atau di kantor yang ia dirikan sendiri. Jika kantor
itu tidak baik, betapa tidak bahagianya pasti hidup mereka?
Pada hemat saya
kuncinya adalah pada karakter kepemimpinan yang ada di dalam berbagai kantor.
Jadi bukan semata sosok pimpinan-pegawai, seperti kepala kantor, kepala bidang, kepala seksi, dan sebagainya, tetapi lebih pada karakter kepemimpinan kepala daerah tersebut.
Seperti dijelaskan
oleh Schwartz, seorang kepala kantor yang baik harus mengubah paradigmanya, dari memeras pegawai untuk
mendapatkan keuntungan, menjadi lebih memperhatikan (dan berupaya memenuhi)
empat kebutuhan dasar dari pegawainya, yakni kebutuhan, fisik, emosional,
mental, dan spiritual. Hanya dengan begitu pegawai bisa merasa bersemangat dan
terinspirasi untuk memberikan kekuatan terbaik mereka di dalam bekerja.
Analoginya juga
sederhana. Jika tidak diberikan gizi yang mencukupi, maka tubuh manusia akan
sakit, dan tak bisa bekerja. Sebaliknya jika gizi yang diberikan cukup, maka
tubuh akan sehat, dan bisa bekerja secara maksimal. Ya kan?
Dengan berpijak pada
pemikiran Tony Schwartz, saya ingin menjabarkan syarat-syarat yang diperlukan,
supaya kita bisa menciptakan kantor (dan berbagai organisasi lainnya) yang
baik. Saya juga akan coba mengaitkan pemikiran tersebut untuk konteks
Indonesia.
Pendapatan yang Layak
Sebuah kantor harus
membayarkan gaji yang layak untuk pegawainya. Layak dalam arti seorang pegawai
bisa hidup layak dengan gaji tersebut.
Banyak kantor di
Indonesia menolak untuk membayarkan gaji yang layak untuk pegawainya. Akibatnya
pegawai jadi tidak bersemangat.
Yang banyak juga
terjadi adalah diskriminasi. Manajer dan direktur memperoleh gaji yang jauh
lebih besar, daripada pegawai biasa.
Ini akan menciptakan
kecemburuan sosial. Atmosfir kerja pun menjadi tidak enak.
Jika atmosfir kerja
tidak enak, maka orang akan malas bekerja. Produktivitas dan kepuasan pelanggan
dari kantor tersebut pun otomatis akan menurun. Ya kan?
Rasa Memiliki
Orang akan bekerja
lebih bersemangat, jika ia merasa memiliki kantor tersebut. Maka sangatlah baik
jika pimpinan memberikan tunjangan tetap kepada pegawainya,
dan juga bagian dari keuntungan yang diperoleh kantor.
Alternatif lainnya
adalah dengan memberikan bonus yang memadai bagi para pegawai yang berprestasi.
Prinsipnya adalah semua keberhasilan harus dirasakan oleh semua pegawai, bukan
hanya segelintir orang.
Yang banyak terjadi di
Indonesia adalah keuntungan kantor dilahap habis oleh pimpinan. Sementara pegawai nyaris tidak mendapatkan keuntungan,
ataupun merasakan keberhasilan, dari kantor tersebut.
Pimpinan terlalu pelit
untuk berbagi. Para pegawai melihat itu, merasa kecewa, dan lalu tidak
bersemangat di dalam bekerja.
Di Indonesia banyak
orang hanya sekedar bekerja, dan tak pernah merasa memiliki kantor tempat
mereka bekerja. Mereka tidak bahagia di dalam bekerja. Ketidakbahagiaan itu pun
berpengaruh pada kinerja mereka.
Ruang yang Nyaman
Ruang kerja pun harus
dibuat senyaman mungkin. Artinya ruang tersebut harus aman, nyaman, cukup luas
untuk bekerja, dan bisa merangsang kreativitas.
Harus ada ruang
privasi bagi setiap pegawai. Namun juga ada ruang bersama tempat para pegawai
berbincang-bincang santai atau rapat.
Di Indonesia banyak kantor
mengabaikan hal ini. Ruang kerja dibuat seminimalis mungkin, sehingga ongkos
bisa ditekan.
Ruang kerja tidak
aman, tidak nyaman, tidak luas, dan membosankan. Semuanya dilakukan atas nama
penghematan.
Cara berpikir semacam
ini akan jadi bumerang. Dengan ruang kerja yang menyesakkan dada, para pegawai
akan merasa tidak puas, dan akhirnya kinerja mereka pun menurun.
Kinerja yang menurun
akan membuat produktivitas dan kualitas produk menurun. Akibatnya pelanggan pun
tidak puas, dan, dalam jangka panjang, kantor terancam bubar. Ya kan?
Makanan yang Layak
Orang bekerja butuh
makan. Iya dong? Dan bukan hanya sekedar makanan, tetapi makanan yang sehat,
enak, dan murah.
Pimpinan perlu
menyediakan tempat bagi karyawannya untuk memperoleh makanan yang sehat, enak,
dan murah. Pegawai yang terpenuhi gizinya dengan harga yang terjangkau akan
merasa bahagia dan bersemangat dalam kerjanya.
Di Indonesia banyak pimpinan
kantor mengabaikan hal ini. Mereka tidak peduli dengan gizi karyawan, dan hanya
sibuk memeras karyawan demi keuntungannya sendiri.
Banyak juga pimpinan bekerja
sama dengan gerai makanan luar yang mahal. Semuanya dilakukan demi keuntungan
kantongnya sendiri, dan tidak mempedulikan situasi gizi ataupun keuangan pegawainya.
Ini pemimpin yang menyebalkan.
Tempat Beristirahat
Pimpinan kantor juga
harus mendirikan tempat beristirahat bagi pegawainya. Bahkan idealnya menurut
Schwartz, pegawai harus mendapatkan kesempatan untuk tidur siang setiap
harinya, supaya mereka bekerja lebih segar sore harinya.
Di Indonesia para pimpinan
kantor tidak pernah memberikan waktu tidur siang bagi pegawainya. Mereka merasa
bahwa itu adalah kegiatan yang tidak produktif.
Padahal kalau dipikir
lebih jauh, jika memiliki waktu istirahat siang harinya, para pegawai akan
merasa segar pada sore harinya. Kinerja dan produktivitas pun bisa meningkat.
Ruang Olah Raga
Kantor juga harus
memiliki fasilitas olah raga bagi pegawainya. Tidak hanya itu para pegawai pun
juga didorong untuk berolah raga, supaya mereka tetap sehat dan segar setiap
harinya.
Di Indonesia tempat
olah raga dianggap sebagai ongkos yang memberatkan. Padahal jika dipikirkan
lebih jauh, itu adalah investasi yang berguna untuk kantor.
Jika para pegawai
sehat, maka absen pun akan menurun. Kantor pun tidak perlu membayar penggantian
uang kesehatan yang terlalu besar.
Tempat istirahat dan
tempat olah raga adalah investasi kantor untuk pegawainya. Investasi yang amat
menguntungkan di kemudian harinya.
Target Kerja yang
Jelas
Target kerja harus
jelas. Definisi keberhasilan kerja pun harus jelas, terukur, dan dipahami oleh
semua pegawai.
Di Indonesia banyak pegawai
dianggap sukses, jika ia dekat dengan atasan, lepas dari produktivitasnya bagus
atau tidak. Ini namanya kolusi.
Ini budaya menjilat
yang bisa merusak atmosfir kerja kantor. Banyaknya penjilat adalah tanda
gagalnya kepemimpinan di kantor tersebut.
Berikan Kebebasan
Selain target dan
definisi keberhasilan kerja yang jelas, pimpinan juga harus memberikan
kebebasan pada para pegawainya untuk mencapai itu semua dengan cara mereka
sendiri, sejauh sejalan dengan garis kode etik dan aturan hukum. Pimpinan tidak
perlu mendikte pegawainya seperti anak kecil.
Kebebasan itu mencakup
kapan mereka bekerja, dimana mereka bekerja, dan bagaimana mereka bekerja. Yang
penting target dan keberhasilan kerja dapat tercapai.
Di Indonesia kantor
curiga pada pegawainya. Pimpinan kantor mendikte pegawainya sampai pada hal-hal
kecil yang tidak perlu.
Pegawai diperlakukan
seperti anak kecil yang tolol. Mereka tidak memperoleh kebebasan untuk
dibutuhkan untuk mencapai target kerja yang dibutuhkan. Alhasil keberhasilan
pun jauh dari genggaman.
Timbal Balik
Tidak hanya pimpinan
yang bisa mengevaluasi kinerja pegawainya. Para pegawai pun harus diberi
kesempatan dan didorong untuk mengevaluasi kinerja pimpinannya.
Hal ini penting untuk
perkembangan kantor. Pimpinan seringkali tidak melihat apa yang dilihat oleh pegawainya,
dan sebaliknya. Maka mereka perlu saling memberi masukan.
Ini akan menjamin
tingkat kepuasan pegawai di dalam kantor. Pada akhirnya pelayanan yang
diberikan oleh kantor akan meningkat, dan pelanggan akan merasa puas.
Hormat dan Peduli
Pimpinan harus
memperlakukan pegawainya dengan hormat dan peduli. Rasa hormat dan sikap peduli
harus menyebar menjadi budaya kantor yang dihayati oleh semua.
Pimpinan pun harus
tegas. Jika ada yang melanggar budaya ini, maka ia harus mendapat teguran
ataupun hukuman yang memadai.
Rasa hormat terwujud
di dalam penghargaan atas setiap hasil karya yang ada di kantor. Rasa peduli
terwujud di dalam kepekaan pada kesulitan yang kiranya dialami orang lain, baik
pegawai maupun pimpinan.
Di Indonesia pimpinan
seringkali bersikap sewenang-wenang. Ia memandang rendah pegawainya, dan tak
peduli pada kesulitan yang mereka hadapi.
Jika ini yang terjadi,
pegawai pun akan membalas. Mereka tidak akan menghormati pemimpinnya. Mereka
pun tidak akan peduli pada kesulitan yang dihadapi pemimpinnya.
Di depan mereka
mungkin tampak hormat. Namun di belakang mereka akan berbicara jelek tentang
pemimpinnya.
Inilah yang banyak
terjadi di Indonesia. Atmosfir kerja tak enak. Tak heran jalan kita masih jauh
untuk menjadi negara maju.
Proyek yang Bermakna
Pimpinan kantor harus
membuat kebijakan, supaya setiap pegawai memperoleh kesempatan untuk membuat
proyek jangka panjang yang bermakna, baik bagi dirinya maupun bagi kantor. Pegawai
tidak boleh dibebani dengan tugas-tugas kecil yang menyiksa diri, dan membuat
mereka kehilangan gairah hidup.
Di Indonesia pimpinan
ingin menimbun pegawainya dengan hal-hal kecil yang banyak sekali jumlahnya. Pimpinan
tidak membiarkan pegawainya fokus untuk mengerjakan proyek yang sungguh
bermakna bagi diri maupun kantornya.
Jika ada pegawai yang
sedang berpikir, pimpinan langsung curiga, jangan-jangan ia sedang ngelamun
pada jam kerja. Pegawai tidak dibiarkan berpikir, tetapi diperbudak dengan
tugas-tugas kecil yang menyiksa jiwa.
Pegawai tidak bahagia.
Hidup mereka dipenuhi dengan rasa terpaksa. Kantor pun tak berkembang, karena
tidak ada ide-ide cemerlang yang muncul.
Perkembangan yang
Berkelanjutan
Pimpinan juga harus
memastikan, bahwa setiap pegawai memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.
Para pegawai bisa diberikan keterampilan praktis yang baru, atau dikembangkan
soft skill-nya.
Singkat kata pegawai
harus disiapkan untuk menjadi pemimpin di kemudian hari. Mereka tidak hanya
bekerja, tetapi juga disiapkan secara terencana untuk menjadi pemimpin-pemimpin
yang unggul di masa depan.
Di Indonesia pimpinan
tidak banyak peduli dengan perkembangan pegawainya. Segala bentuk peningkatan
keterampilan pegawai dianggap lebih sebagai biaya, sehingga prosedurnya
dipersulit.
Tak heran banyak kantor
mengalami krisis kepemimpinan sekarang ini. Ini terjadi karena mereka pelit
dalam mengalokasikan sumber daya untuk mengembangkan kemampuan praktis maupun
karakter pegawainya.
Punya Idealisme
Pimpinan juga tidak
boleh bekerja untuk mencapai keuntungan finansial semata. Pimpinan harus
bekerja untuk nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi, yang bermakna pada
masyarakat dan dunia.
Keuntungan finansial
perlu. Tetapi tidak pernah boleh menjadi tujuan utama, melainkan hanya alat
untuk tujuan lain yang lebih tinggi, yakni perbaikan kualitas kehidupan di
masyarakat, ataupun di dunia.
Pimpinan juga perlu
menyatakan ini dengan tegas kepada para pegawainya. Hanya dengan begitu para pegawai
menyadari, bahwa mereka bekerja untuk sesuatu yang lebih bermakna daripada
sekedar meraup uang sebanyak mungkin.
Di Indonesia banyak pimpinan
kantor bekerja semata untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Mereka tidak
punya idealisme.
Kantornya menjadi
dangkal, kering, dan tak punya nilai tambah pada masyarakat luas. Para pegawainya
pun tak merasa bangga bekerja di sana.
Bahkan untuk
memperbesar untung, mereka rela melakukan apapun, termasuk merugikan pegawai,
bahkan pelanggan. Kantor semacam ini hanya hadir untuk merusak masyarakat.
Secara empiris
sebagaimana dicatat oleh Schwartz, belum pernah ada kantor yang mewujudkan
semua hal di atas. Paling dekat menurutnya adalah Google, dan itu pasti
memberikan sumbangan bagi keberhasilan mereka.
Saya pikir apa yang
dinyatakan Schwartz juga penting untuk kita di Indonesia. Kita ingin dan butuh
untuk bekerja atau mendirikan kantor (ataupun organisasi lainnya) yang baik
bagi semua. Bukan begitu?
PENUTUP
Kesimpulan
·
Etika adalah
aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya serta
menegaskan yang baik dan yang buruk.
·
Etiket adalah
menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Etiket
menunjukkan cara yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan
dalam suatu kalangan
·
Perbedaan antara
etika dan etiket bias dilihat dari segi pengertiannya dan dari perbuatannya.
·
Tony Schwartz (2011), kontributor resmi Harvard Business Review, menyampaikan bahwa hanya 20 persen dari seluruh pegawai di
dunia yang menyatakan, bahwa mereka bekerja di kantor yang baik. Logikanya, 80
persen lainnya merasa, bahwa mereka bekerja di kantor yang tidak baik.
·
Karakter
pemimpin yang baik akan membawa kerbehasilan bagi kinerja pada suatu kantor.
DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung.
Pustaka Setia.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Etika.
Jakarta. Rajawali Perss.
Esha, Muhammad In’am. 2010. Menuju Pemikiran
Filsafat. Jakarta. Maliki Perss.
Mufid, Muhamad. 2009. Etika Filsafat
Komunikasi. Jakarta. Kencana.
Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu.
Bandung. Mulia Pers.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta.
Bumi Aksara.
______. 2010. Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara.
Syadalim, M. Ahmad. 1999. Filsafat Umum.
Jakarta. Pustaka Setia
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum. Bandung.
Remaja Rosdakarya.
___________. 2005. Filsafat Ilmu. Bandung.
Bumi Aksara.
Agoes, Sukrisno dan I Cenik
Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi : Tantangan
Membangun Manusia Seutuhnya. Jakarta : Salemba Empat
Berten, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta:
Kanisius
Dwiantara, Lukas dan Hadi
Sumarto, Rumsari. 2006. Etiket di Tempat
Kerja. Yogyakarta: Kanisius
Wattimena, Reza A.A. https://rumahfilsafat.com/2011/09/24/kepemimpinan-yang-memuaskan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar